Jumat, 01 April 2011

Tiga Pemberontak, Jutaan Penggemar

“Kalau sejak awal berdiri mungkin penggemarnya akan sebesar U2, ” kata Jerinx. Di jejaring sosial Facebook, Superman is Dead (SID) punya lebih dari 1,9 juta penggemar. Apa artinya? “Tanggung jawab yang lebih besar. Kami harus
bisa menyampaikan atau melakukan
sesuatu dengan lebih cerdas,” kata Ari Astina yang lebih akrab dipanggil
Jerinx, penabuh drum dan frontman
band punk tersohor di Bali ini. Untuk perbandingan, Slank, band
rock and roll yang oleh banyak media
disebut band dengan jumlah
penggemar terbanyak di Indonesia
ternyata “cuma” punya sekitar 750 ribu penggemar di Facebook hingga
tulisan ini dibuat. Perbandingan lain,
Dewa 19 punya fans kurang dari 100
ribu di Facebook. Atau, mari kita
bandingkan SID dengan (ehm!) ST 12
dengan sekitar 650 ribu fans di FB. Dibanding tiga band di atas, SID
punya fans paling banyak. Namun, banyaknya penggemar juga
bisa banyaknya musuh, atau,
setidaknya “pengawas”. Sebab, lebih dari 1,5 juta fans di Facebook tidaklah
berarti semua memang penggemar
musik dan lirik band punk kelahiran
Kuta ini. “Tidak semua fans di Facebook suka SID. Banyak yang ikut
hanya untuk melihat hal negatif
tentang kami, ” kata Jerinx. Menurut Jerinx banyaknya fans di
Facebook berdampak pada perasaan
tanggung jawab lebih besar. Misal,
bagaimana melakukan gerakan lebih
cerdas sehingga kalau ada yang
mengkritik, mereka juga bisa memberi jawaban lebih cerdas. “Itu memotivasi saya dan anak-anak SID
untuk belajar agar tidak asal bicara, ” tambahnya. Pertengan Desember lalu Jerinx
berbagi pengalaman mengelola band
dan fans ini di Bali Creative Festival
(BCF). Selain Jerinx, pembicara lain di
diskusi bertema Gono Gini Indie itu
ada Pemimpin Redaksi Rolling Stone Indonesia Adib Hidayat dan anggota
band Seringai, Sammy Bramantyo. Sebenarnya, ngobrol santai selama
sekitar dua jam itu tentang musik
indie. Tulisan ini hanya mencomot
sebagian omongan Jerinx tentang
band dengan dua personil lain, Eka
Arsana (Eka) dan Budi Sartika (Bobby) ini. Anak punk nyinyir Menurut Jerinx, pada awalnya SID
tidak ingin membentuk fans club.
Pandangan ini muncul karena SID
mengawali perjalanan di belantara
musik dari indie. Di kalangan musisi
indie dan underground, kata Jerinx, ada kesepakatan untuk
mengharamkan kultus individu atau
band. Sejarah Superman is Dead memang
tak bisa dilepaskan dari dunia indie.
Mereka menerbitkan tiga album
pertamanya secara independen. Pada
tahun 1997, band yang lahir dari
Kuta ini mengeluarkan album Case 15. Dua tahun kemudian mereka
mengeluarkan album sesuai nama
band mereka sendiri, Superman is
Dead. Album terakhir mereka di jalur
independen, Bad, Bad, Bad, terbit
pada 2002. Setahun kemudian, mereka dikontrak
mayor label, Sony BMG. Bersama label
ini, SID mengeluarkan tiga album,
yaitu Kuta Rock City (2003), The
Hangover Decade (2005), Black
Market Love (2006), dan Angels & the Outsiders (2009) . Karena sejarahnya dekat dengan
musik indie, maka ketika akhirnya
SID dikontrak major label, banyak
anak punk nyinyir pada tiga musisi
ini. Sekarang, Jerinx justru bersikap
berbeda pada mereka yang menolak
dikultuskan itu. Dia punya alasan
sendiri. “( Ketidakberanian untuk dikultuskan) itu karena mereka tidak
berani bertanggungjawab. Itu hanya
pembenaran,” katanya. Mengawali band dari dunia bawah
tanah dan album yang diproduksi
secara independen, SID pada awalnya
memang tak terlalu peduli pada fans.
Setelah merilis album pertama dan
kedua, barulah mereka mulai peduli untuk membentuk kumpulan
penggemar (fans club). Menurut Jerinx, lahirnya fans club ini
justru setelah penggemar mereka di
berbagai daerah membuatnya
terlebih dulu. Kalau dilihat secara
kronologis, munculnya fans dari
berbagai daerah ini memang tak bisa dilepaskan dari kontrak mereka
bersama Sony BMG. Setelah SID
mengeluarkan album bersama Sony
BMG, fans mereka di banyak daerah
kian bermunculan. Penggemar di berbagai daerah itu
punya nama masing-masing. Seiring
waktu, mulai ada email dan berita
bahwa sekelompok anak muda bikin
kelompok penggemar untuk SID.
“Maka kami berpikir kenapa namanya harus berbeda,” ujar Jerinx. Setelah keluarnya album Black Market
Love pada tahun 2006, Jerinx
menyeritakan, mulai terbentuk sikap
militan dari fans. Permintaan agar SID
meresmikan nama fans club tersebut
mulai muncul dari penggemar. Pada tahun itu juga ada pertemuan
untuk penggemar. Dan, nama resmi
untuk penggemar SID tersebut
adalah Outsider. Tak hanya di Bali,
Outsider ini juga ada di daerah-
daerah lain. “Kami bebaskan mereka bikin logo sendiri. Ternyata banyak
yang bagus,” katanya. Tak melulu bersilat kata Outsider yang terserak itu kemudian
berkumpul di jejaring sosial Facebook
pada tahun itu juga. Grup Facebook
itu dibuat salah satu fans dan teman
mereka juga. Tapi, Jerix mengaku
saat itu mereka belum terlalu hirau pada peluang kekuatan jejaring
sosial tersebut. Seiring waktu, ketika
jejaring sosial jadi trend, SID baru
menyadari kuatnya media jejaring
sosial ini. Tentu saja SID juga punya website.
Tapi, menurut Jerinx, kalah dinamis
dibanding Facebook. Mungkin
karena di Facebook memang lebih
interaktif. Di dinding grupnya, musisi
SID tak hanya memromosikan semua hal tentang musik mereka tapi juga
pikiran dan sikap. Melalui dinding itulah, SID
menyebarluaskan idenya, termasuk
untuk hal-hal sensitif bagi banyak
orang. Misalnya tentang seks bebas,
fundamentalisme, stigmatisasi pada
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan
semacamnya. Lalu, para penggemar
di jejaring itu bisa ikut berkomentar.
Ada pro. Ada kontra. Pembicaraan
beragam. “Jadi ada diskusi. Kami tak hanya kasih ilmu tapi juga belajar. Itu
yang membuat Facebook jadi
penting,” katanya. Keberhasilan SID mencapai lebih dari
1,9 juta penggemar di Facebook
menandai era baru penggunaan
teknologi informasi oleh band. Bagi
mereka, jejaring sosial tak hanya
tempat untuk memajang foto narsis tapi juga berdiskusi. Toh, tak melulu untuk bersilat kata. Di
jejaring itu, SID juge memasang foto
dan gambar. “Itu lebih kuat dibanding kata-kata. Jadi, energy
movement SID lebih berkembang, ” ujar Jerinx. Di sana, mereka juga menambah foto-
foto saat konser di berbagai daerah.
Tujuannya untuk membangun
keterikatan antara band dan
penggemar. Mereka yang tak sempat
nonton konser bisa menikmati foto- foto tersebut di Facebook. Jadi, lengkaplah. Selain untuk tempat
diskusi, Facebook juga jadi tempat
untuk promosi. Tak hanya lagu-lagu
tapi juga merchandise. “Secara bisnis berpengaruh sekali. Hari ini pasang
foto kaos, besok sudah ada ribuan
penggemar pesan,” aku Jerinx. Pada akhirnya, banyaknya
penggemar juga berpengaruh pada
banyaknya pendapatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar