Sabtu, 09 April 2011

Tulisan Jrx SID : Social Distortion Vs The Gaslight Anthem

image
Social Distortion. (Foto: Jerinx)

Ada dua alasan kenapa saya menjadi “anak kecil” selama di Melbourne. Satu, saya akan melihat langsung konser Social Distortion (SD), sebuah band yang saya idolakan sejak 1997.

Fakta ini memberi saya adrenalin resah layaknya anak kecil yang akan bertemu figur jagoannya sepanjang masa. Kedua, selama di Melbourne saya memang tidur di kamar anak-anak yang dipenuhi mainan (risiko menumpang di rumah teman).

Tiba di kota sekitar pukul enam sore pada hari Rabu (2/3), kami memutuskan untuk bertemu sekaligus sesi warming-up bersama Travis (mantan drummer The Living End) di sebuah bar sekitar Theater Palace. Sembari melawan udara dingin kota dan mahalnya harga bir, perlahan kami melihat atmosfer Southern California terbangun di sekitar venue. SD dikenal sebagai salah satu band dengan fanbase yang paling mudah dikenali di dunia.

Wanita bertato dengan tata rambut dan busana ala pin up girl tahun 50-an. Pria (dengan lebih banyak tato) berdandan layaknya Elvis Presley yang memiliki geng motor di neraka: rolled up jeans, slicked back hair & tiger print. Di sela nuansa So-Cal yang pekat, juga tampak beberapa metalhead, goth, pasangan tua, pegawai kantoran dan emo kid. Yang saya sebut terakhir sepertinya datang untuk pahlawan baru New Jersey, The Gaslight Anthem (TGA).

Sekitar pukul tujuh malam kami memasuki Theater Palace. Venue berkapasitas 1200 orang ini memiliki feel layaknya bangunan teater tua yang banyak melahirkan seni bersejarah. Venue yang tepat untuk band sekaliber SD. Ada dua band yang membuka SD malam ini, TGA dan Feeder (U.K), namun karena saya tidak tahu banyak tentang Feeder maka saya tidak menulis tentang aksi mereka.

Usai aksi Feeder, banner TGA dinaikkan dan tampak para kru membenahi panggung. Dari jumlah penonton yang mendekati bibir panggung, sepertinya TGA belum memiliki fanbase besar di Melbourne. Namun semua itu sepertinya akan berubah setelah menyaksikan aksi Brian Fallon dan kawan-kawan. Benar saja, sejak lagu awal ”Bring It On” hingga penutup ”Backseat”, grafik apresiasi crowd terhadap TGA makin meningkat.
Sesekali pecah mosh pit dan stage dive. Cengkeram nostalgia nan dingin a la ”Here’s Looking At You, Kid” dan kemegahan ”59 Sound” di saat live menunjukkan bahwa TGA memang layak akan apresiasi yang lebih. Belum lagi energi soulful di “The Diamond Church Street Choir” dan ketegasan “Great Expectation” yang menghipnotis. Dalam dunia ideal, mudah membayangkan bagaimana band ini adalah the next big thing setelah sepeda fixie. Selain sound dan performa, pesona frontman Brian Fallon sangat berperan di situ.

Terlihat dari cara ia bertutur dan bernyanyi, terasa sekali that he’s a good guy. Ketika ia berkata ’Thank you’, kita tahu itu berasal dari hatinya. Sepanjang set, Fallon tak henti tersenyum. Malam itu, TGA jelas telah membuat penonton jatuh hati. And that, my friend, is a good thing.

Kelar TGA dan break sekitar 30 menit, lights out, satu persatu personel SD memasuki panggung diiringi oleh “California”-nya Tupac Shakur (sedikit aneh memang, tapi menyenangkan). Ada additional organ/accordion player Danny Mc Cough yang tampak seperti salah seorang personel Flogging Molly, bassist Brent Harding yang tampil rapi bagai bendahara gereja, gitaris Johny Wickersham, dan drummer baru David Hidalgo Jr yang secara visual laksana gangster Meksiko berhati panda.

Tepuk tangan paling meriah tentu saja terjadi saat Mike Ness memasuki panggung. Dia adalah 13 alasan kenapa gedung ini penuh. Diikuti spot light, anggun ia berjalan ke tengah panggung dengan gaya gangster era 50-an: suspender, sepatu hitam mengkilat dan tailor-made pants dengan garis setrika yang sempurna.

Harus diakui, untuk seseorang yang berusia hampir 50 tahun, he still got the look. Bayangkan Mickey Rourke dan Kevin Costner dilebur jadi satu. Mike tampak begitu segar dan well shaped. Di balik tatonya yang memudar tertanam magnet kharisma yang siap menarik siapa saja. A total charmer. Para penonton wanita tiada henti meneriakkan namanya. And the best part is, he knows he still got the look.

Dibuka dengan istrumentalia “Road Zombie”, tembok suara yang terbangun pun terasa begitu khas. Yup, distorsi signature SD dari Gibson ‘59 Gold Top yang setia menemani masa remaja saya. Hebatnya, tone gitar SD sedikitpun tidak berubah dari yang saya dengar di kaset/CD. Disusul dengan “So Far Away” yang maskulin, lalu “Mommy’s Little Monster” dan “King Of Fools” yang bersejarah. Banyak lagu disusun secara medley karena tampaknya SD ingin memanjakan penonton dengan lagu-lagu yang dirasa mewakili kedelapan album studio mereka.

Perlu dicatat, selama lebih dari 30 tahun berkarier, ini adalah tur pertama SD di Australia. “It’s better late than never,” ucap Mike di panggung. Menarik melihat pembagian porsi gitar yang tidak dominan dieksekusi Mike, di beberapa lagu (terutama lagu-lagu baru) tampak Johny mengambil porsi lead, hal menyenangkan karena ia membawa kedalaman dan kemajuan dalam musik mereka.

Apalagi style Johny pekat dengan pengaruh soul dan blues. Jika ada analogi musik SD bagaikan mata, maka Mike Ness adalah eyeliner hitam dan Johny adalah bulu mata yang indah. Sepanjang set, vokal Mike terdengar stabil dan bertenaga. Fakta bahwa dia sudah clean sejak lebih dari 10 tahun terakhir nampaknya membuahkan hasil. Ada kejutan saat SD membawakan balada heroin “Cold Feelings” dengan aransemen bossanova nan sensual.

Setelah “Don’t Drag Me Down” dan “Making Believe” yang membahana hingga ke tulang, SD menghilang dari panggung dan langsung disambut koor ”We want more!” dari penonton. Tak lama, SD keluar, Mike sempat berkata betapa ia menyukai Melbourne dan berjanji akan datang lagi tahun depan.

Konser akhirnya ditutup dengan ”Story Of My Life,” anthem abadi para montir sakit hati. Mosh pit dan stage dive makin menggila. Energi, sentimen dan emosi yang terbangun atas memori, penebusan dan masa lalu semakin memuncak. Walau satu setengah jam terasa begitu cepat dan masih ada beberapa personal favorite yang tidak mereka mainkan, malam ini tetap membekas selamanya. Ada rasa haru, bangga dan “lengkap” memenuhi dada.

Tanya ke saya “Have you met your maker?” maka jawabannya adalah, “Yes, I surely did.”

1 komentar: